Raja Ampat, Bukan Sekedar Tentang Pariwisata Saja!

I’m officialy time traveller! Bahkan di sisi lain, Saya merasa dunia seakan berhutang dua jam kepada saya. Ibarat deposit perjalanan dari Jakarta ke timur Indonesia mungkin, haha. Papua Barat, Sorong, Raja Ampat! Tiga tempat yang menguasai pikiran Saya ketika memasuki H-2 perjalanan dimulai. Lebih jauh dari tahun lalu, Transmate Journey kali ini membawa Saya untuk lebih memahami prosesnya. Tak sekedar tujuan, tapi penggerak di baliknya. Dan bukan soal menikmati, tapi bagaimana bisa dinikmati. Hey, Papua. See you soon!



   Ini adalah pengalaman pertama Saya untuk penerbangan berdurasi cukup lama. Kalau tak salah, 5 jam 30 menit, dengan perbedaan zona waktu yang membuat Saya berangkat dari Jakarta jam 2 pagi, lalu sampai di Sorong jam 10 pagi di hari yang sama. Jujur, di hari H, Saya cukup kebingungan menentukan waktu jika tak melihat smartphoneApalagi untuk penerbangan dini hari, resiko salah hari cukup besar dan sering terjadi.

 

Pukul 04:23 waktu setempat. Yang Saya tak tahu entah di mana. Sinar mentari perlahan menembus jendela pesawat dan membangunkan Saya, memberikan tanda, dan menyuruh Saya untuk menikmati gradasi warna langit pagi itu. Warna jingga yang membuat pupil orang Asia semakin indah. Untuk pertama kalinya juga Saya menyaksikan polarisasi cahaya yang menjadikan biru langit sebagai ucapan selamat datang di perjalanan kali ini.



Btw, sebenarnya Saya juga sempat merasa tak beruntung karena salah request kursi. Kalau kalian mau lihat hal yang lebih ‘waw’ ketika berada di ketinggian menuju destinasi di timur Indonesia, Saya sarankan untuk detail saat memilih kursi pas check-in. Pastikan pilih dekat jendela sayap kanan kalau dari Jakarta. Kemarin saya berada di sayap kiri, jadi hanya melihat cahaya dan gradasi warna di langit sisi lainnya saja, hiks.


Welcome to Sorong, Selangkah Lagi (dan lagi) Menuju Raja Ampat! 

Sulit rasanya mendefinisikan rasa pegal Saya waktu itu. Sampai hotel langsung tepar adalah target pendek Saya, sebelum akhirnya dibuat senang dengan ambiance Bandara DEO. Sebagai gerbang udara utama menuju Raja Ampat, bandara  dengan nama tokoh besar adat setempat, yaitu Domine Eduard Osokyang kemudian disingkat, ini berhasil mengubah rasa lelah saya menjadi excited untuk explore sebentar. Dan uniknya, ini semua berawal dari kamar mandi mereka yang dilukis plus bersih!



Selamat Datang di Sorong”, tulisan yang dipertegas dengan diorama suku asli Papua di sebelahnya menyapa Saya sesampainya di Badara DEO, Sorong. Bersih, sungguh bersih untuk standar fasilitas publik, dan sejauh mata memandang alhamdulillah semua menggunakan masker. Artinya insan transportasi yang bertugas di bandara ini ketat serta peduli banget dalam penerapan protokol kesehatan. Dan untuk kebersihan, good job banget buat insan transportasi yang bertugas membersihkan setiap sudut bandara ini.




Bicara soal fungsi keseluruhan, peran bandara ini terbilang cukup penting dari sisi daya angkut penumpang dan juga logistik. Apalagi kalau soal produk perikanannya yang dinilai mampu dan telah berdaya saing global. Info yang Saya dapat, meskipun kemarin telah terjadi penurunan pengiriman kargo akibat pandemi, tapi saat sudah mulai beranjak naik dan stabil kembali. Bandara DEO juga menerapkan syarat pendistribusian yang ketat, di mana mereka tidak akan menerima paket yang tidak sesuai dengan standar packaging mereka.





Dalam hal fasilitas, Bandara DEO terbilang lengkap dengan ketersediaan posko monitoring covid, playing kids, free charging, wifi, tempat makan, serta pojok UMKM atau tempat beli oleh-oleh. Beberapa waktu lalu juga ada tempat untuk vaksin, tapi sekarang sudah tidak ada. Sebelum ke Raja Ampat, Saya merasa bandara ini memberikan kesan yang menyenangkan, sehingga saya tak terlalu terburu-buru untuk keluar.




Oh iya, satu lagi yang Saya suka dari bandara ini adalah, Bandara DEO letaknya persis di depan jalan umum, jadi enggak jauh dari ‘peradaban’ dan aksesnya pun mudah karena ada angkot (atau yang mereka sebut taksi) di sana.


Raja Ampat dan Kehidupan via Laut

Kepulauan Raja Ampat, sesuai namanya, dipastikan lokasi wisata yang terkenal ini punya banyak pulau-pulau cantik untuk disinggahi. Dan untuk masyarakat setempat, pulau-pulau tersebut adalah tempat tinggal mereka, yang disatukan dengan laut, dan bersatu menjadi Indonesia. 

 

Keluar bandara naik taksi huruf H, kemudian nyambung huruf B. Sampailah kita di Pelabuhan Rakyat Sorong. Karena wilayah pesisir, tentu Sorong punya banyak Pelabuhan, baik yang dikelola Kementerian Perhubungan Republik Indonesia maupun swasta. Yang saat ini aktif banget (setahu saya), ada Pelabuhan Rakyat Sorong untuk kapal-kapal regular serta Tol Laut Perintis, dan Pelabuhan Sorong yang berfokus pada kegiatan logistik (bongkar-muat) serta penumpang dengan kapal besar. 



OST Hometown Cha-Cha-Cha, Romatic Sunday, otomatis berputar di telinga Saya. Vibes Pelabuhan semakin lengkap dan nyata. Beberapa langkah menuju kapal saya merasa seperti Hong Banjang, haha. Pelabuhan Rakyat Sorong ini juga menyapa Saya dengan kesibukannya masing-masing. Maklum saja, Pelabuhan ini bak jantung untuk pulau-pulau kecil sekitar, baik sebagai angkutan penumpang maupun logistik, mulai dari sembako, hasil kebun, buah-buahan, ikan, kopra, snack, minuman, hingga bahan-bahan bangunan. Seperti kehadiran kapal Tol Laut perintis yang saya lihat sedang bersandar kala itu. 



Saya rasa, Saya melihat jawaban yang nyata untuk pertanyaan, kenapa barang/produk ini bisa ada di pulau ini? Atau kenapa harganya berbeda di tiap daerah? Proses dan akses menuju lokasi menjadi jawaban yang terlihat begitu melelahkan bagi saya, tapi untuk mereka yang tinggal di pulau-pulau seberang, kehadiran dan peran kapal-kapal pengangkut serta peran Kemenhub RI dalam mengatur jalannya distribusi dan konektivitas di Papua Barat begitu besar jasanya. Yang paling berasa, kehadiran konektivitas logisti ini membuat harga jual saat ini menjadi standar.

 

Hari itu jadwal Saya menuju Waisai yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Raja Ampat. Saya memilih Kapal Express Bahari yang melayani rute Sorong-Wisai PP) dengan harga tiket 215K untuk kelas VIP dan 100K untuk kelas regular, yang beroperasi setiap hari pukul 2 siang (baik dari Sorong maupun dari Waisai) dengan durasi perjalanan 2 jam. Kalau tak pandemi, biasanya kapal ini beroperasi 2 kali, jam 9 pagi dan jam 2 siang. Untuk pembelian tiketnya bisa melalui WA atau datang langsung ke loket yang tersedia di Pelabuhan.




Yeay! Akhirnya Sampai di Raja Ampat!

Akhirnya saya menginjakan kaki di Raja Ampat, meskipun belum di spot wisatanya, tapi yang harus digaris bawahi adalah, Raja Ampat bukan sekedar tempat untuk orang luar berwisata saja, melainkan tempat kehidupan untuk masyarakatnya. Kita mungkin merangkumnya dengan istilah ‘simbiosis mutualisme’, tapi ada titik di mana ‘turis’ tak perlu berperan terlalu aktif dalam ekonomi mereka. Contohnya, selama pandemi wisata mereka tergolong sepi, tapi alhamdulillah pasokan sembako hingga produk lainnya bisa di-supply melalui konektivitas logistik.



Pelabuhan Raja Ampat menyapa Saya dengan musik dan tarian selamat datang. Meskipun secara spesifik bukan buat saya, tapi pas keluar kapal suara tifa dan tarian masyarakat lokal masih berlangsung. Jadi, tak ada salahnya kan ikut euphoria tersebut, hehe. Sebagian besar penumpang dan warga lokal sibuk mengeluarkan barang-barang mereka, sembako, buah, telur, jajanan, dll. Namun Saya? Sibuk melihat ikan-ikan di jernihnya air sekitar pelabuhan.



Ada pertanyaan yang mengganjal di pikiran saya, ketika memutuskan ikut one day trip Raja Ampat. “Kenapa start-nya dari Sorong? Padahal Raja Ampat punya Pelabuhan?” otomatis pendapatannya masuk ke Sorong dong ya… haha…. 


Ke Raja Ampat Bisa Naik Pesawat?

Pergi via laut, pulau via udara. Rasanya sudah menjadi pattern pilihan transportasi untuk Transmate Journeyyang Saya lakukan. Seperti perjalanan ke Toraja tahun lalu. 

 

Kalian tahu enggak kalau Raja Ampat juga punya bandara loh! Namanya Bandara Marinda, singkatan dari perpaduan nama bupati dan wakil bupati pertama di Raja Ampat, yaitu Marcus Wanma dan Inda Arfan. Untuk saat ini, Bandara Marinda melayani rute Sorong – Waisai – Sorong tiap hari Selasa dan Sorong – Kabare – Waisai – Kabare – Sorong di hari Kamis. Susi Air menjadi satu-satunya armada yang beroprasi di sini, dengan jenis pesawat Cessna Grand Caravan. Semoga setelah Covid terkendali dan wisata kembali ramai, bandar ini bisa disinggahi pesawat regular lainnya, aamiin.




Sumpah! Ini pertama kalinya Saya naik pesawat tipe Caravan, dan seru banget, serasa di film-film. Bahkan pas mau beli tiket saja, kita wajib naik timbangan beserta tas ransel yang kita bawa, haha. Untuk harga tiketnya, kalau ke Sorong di harga 531K, dan kalau ke Kabare 200K-an (seingat Saya). Untuk landscapePapua yang banyak pegunungan, transportasi udara perintis ini punya peran penting sekali, karena transportasi udara dan laut akan memakan waktu yang cukup lama. 



Durasi terbang dari Bandara Marinda ke Bandara Sorong sekitar 30 menit. Sesampainya di atas, mengudara, Saya melihat pemandangan laut dan pulau-pulau kecil sekitar Sorong tuh berasa banget kalau peran transportasi, konektivitas, dan logistik sangat dibutuhkan untuk negara kita yang berbentuk kepulauan ini. Enggak kebayang sih kalau tak ada ketiga hal tadi dan yang mengaturnya…..




Next postingan, Saya mau cerita keseruan one day trip Raja Ampat! Dan warisan Kemenhub untuk laut Indonesia yang saya temukan di Sorong! Sumpah, bangga banget ngeliatnya….

No comments