Sebuah Keadilan yang Terlupakan

Seandainya saya tahu kejadian 25 tahun lalu itu, mungkin tepat dipergantian hari ini saya masih terjaga dan berkutat dengan peperangan akan imajinasi dan kenyataan. Mematikan lampu dan welcome dengan kegelapan ketika ingin tidur berubah menjadi hal yang saya jauhkan, saya takuti, dan kesendirian dipastikan jauh lebih menakutkan dari biasannya. Sudah lama, ya, bahkan terlalu lama. Dan sebagai anak millenial, saya tahu kemana saya bertanya akan hal ini lebih banyak lagi. Informasi yang saya dapatkan di mesin pencari (faktanya) menitik beratkan pada sebuah kesedihan, pembataian yang dilengkapi dengan foto hitam putih serta tagar bertulisan Justice for Khojaly.


   Rasanya baru kemarin saya menuliskan cerita tentang betapa inginnya saya menginjakan kaki di Azerbaijan, negara yang mungkin gak terpikirkan untuk disinggahi oleh beberapa orang, sebelumnya. Padahal banyak banget loh tempat unik, menarik, dan aneh nan berkesan yang bisa dikunjungi, hehe. Masih saya ingat, perkenalan saya dengan negara api ini berawal dari keterbukaan tangan mereka menyambut saya di kantornya beberapa waktu lalu, seketika kebahagiaan saling kami tukarkan sepanjang perbincangan tentang Azerbaijan dan kota-kota kecil di dalamnya.

Sejujurnya, ada beberapa konflik yang sempat disinggung kala itu, tapi pikiran saya masih terbuai akan keindahan yang likuskan Mr. Ruslan Nasibov , selaku Counsellor/Deputy Chief of Mission Embassy of The Republic of Azerbaijan, tentang negaranya itu. Mungkin bisa dikatakan, barulah saya terbangun dari mimpi indah itu ketika pertemuan kedua di Masjid Istiqlal, Jakarta, minggu lalu. Waktu yang cukup lama dan menyenangkan untuk bermimpi, haha.

Sangat berbeda. Saya rasa jika saya tersenyum ataupun tertawa pada detik tertentu bisa diibaratkan sebuah penghinaan untuk hari itu, hari di mana tentara Armenia yang didukung oleh bekas resimen 366 Soviet seketika menjadi tuhan di sebuah kota kecil di kawasan administratif negara bagian Nagoro-Karabakh, Azerbaijan. Malam itu dipastikan menjadi malam terakhir penduduk setempat mengingat kesenangan di tanggal 25 Februari 1992, karena selanjutnya rasa kesal dan amarah akan terus hadir hingga keadilan yang dinanti-nantikan datang. Dan hingga saat ini belum.

Saya merasa bukan hanya saya saja yang kurang mengetahui akan hal ini, bahkan pengetahuan saya hanya cukup untuk menambahkan pertanyaan baru akan bulan februari yang selalu dikaitkan dengan cinta. Google sendiri ‘nampaknya’ menceritakan terlalu banyak akan kesedihan yang membuat saya merasa masuk ke situs yang sama padahal namanya berbeda. Genosida, sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap suku bangsa atau kelompok, dengan maksud memusnahkan bangsa tersebut, adalah kata yang sering sekali saya temukan terkait Khojaly, diikuti kata ‘sistematis’ yang seakan punya rahasia tersediri.

Seperempat abad tragedi Khojaly yang terlupakan, rasanya tak salah jika saya beberapa kali juga membaca kalimat tersebut, tak hanya dia saja, kampanye kesadaran akan peristiwa ini sebenarnya sudah dikobarkan pada 2008 lalu oleh Leyla Aliyeva, selaku Koordinator Pusat Forum Konferensi Pemuda Islam dalam berbagai dialog dan kerjasama. Leyla secara tak langsung mewakilkan maksud ‘amarah’ dibalik korban yang selamat, serta kita yang tahu dan mulai sadar akan kesedihan tersebut. Situs resmi dari kampanye ini bisa kita lihat di www.justiceforkhojali.org, berisi sebuah deklarasi perdamaian yang menyerukan masyarakat internasional untuk membuka mata dan mendorong para ‘pemilik kuasa’ untuk mengambil tindakan yang seharusnya sudah dilakukan sedari dulu. Sebuah keadilan.

Kajian Islam Bulanan, yang diwarnai dengan doa bersama untuk Khokaly, Azerbaijan
Kajian Islam Bulanan Bersama KH. Yusuf Mansur berhasil menjadi jembatan doa untuk Khojaly. Seperti biasa, Mr. Ruslan berbicara dengan cepat, dihadapan ratusan orang yang hadir di Masjid Istiqlal yang bisa dikatakan sebagai islamic center di Asia beliau yakin hari ini menjadi sebuah cahaya baru untuk dunia kembali mengingat ada keadilan yang belum ditegakkan. Tercatat, 613 warga sipil terbunuh diantaranya terdapat 106 wanita dan 83 anak-anak, dengan sadis. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) adalah tuntutan yang amat jelas dan tepat jika kita membayangkan malam itu. Ucapan “Amin” menggema bersamaan dengan air mata yang direlakan jatuh untuk Khojaly.

Kampanye dan doa bersama yang saya tahu adalah sebuah bentuk nyata kepedulian, atas nama kemanusiaan tentunya, bahkan kalian tahu tidak kalau ada film dokumenter tentang tragedi ini yang berjudul Endless Corridor (Jalan Tak Berujung) yang dibuat oleh seorang produser dan sutradara asal Lithuania bernama Aleksandras Brokas, yang sudah memenangkan berbagai macam penghargaan. Sejujurnya saya belum menonton film ini, hanya membaca di internet dan sinosisnya menarik banget, terlebih saat maksud “dua sisi” melintas di mata saya.

6 comments

  1. Semoga Khojaly selalu aman, damai, dan tenang. Etnis Azeri bisa hidup damai dalam suasana penuh cinta.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin, kita hanya bisa doa ya mas, semoga tindakan terbaik datang dengan sangat cepat....

      Delete
  2. Enggak pernah ngerti deh dimana hati nuraninya orang-orang yang menyerang Khojaly. Semoga semua tempat di berbagai belahan dunia, tak hanya Khojaly selalu hidup damai ya.

    ReplyDelete
  3. jadi penasaran mau nonton film dokumenternya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama, aku juga, tapi blm ketemu 'nyari-nyari', heheh

      Delete