Hal terbodoh adalah berpikir
kalau ending film ini sepenuhnya
diberikan kepada khalayak umum. Atau mungkin hanya berakhir seputar kemenangan.
Nyatanya kita masih butuh ‘arahan’ yang
menjabarkan kebahagiaan, sehingga
film mampu menyampaikan pesannya dengan sangat baik. LIMA, mungkin akan terasa aneh jika tak melihat poster atau tanggal
film ini rilis, dan gak mudah untuk menghilangkan pikiran kalau film ini akan
terasa membosankan dengan durasi yang cukup lama. Tapi sebagai pembuka tulisan
ini, mari kita bayangkan betapa mudahnya pelajaran PPKN (atau apapun namanya, sesuai zamannya) dulu, semua yang baik adalah
jawaban yang benar. Padahal tak semua
yang baik itu benar, saat ini.
Membuka film dengan sangat
menarik! Saya jatuh cinta dengan cara
film ini menempatkan musik sebagai penghubung antar cerita yang satu dengan
yang lain. Ada nyawa tersendiri yang dititipkan Indra Perkasa sebagai Music
Director. Sejatinya, film LIMA menceritakan tentang Pancasila dengan
mengambil satu keluarga majemuk sebagai pondasi cerita. Tapi LIMA seakan tak
suka teori dan langsung menunjukan apa yang sudah terjadi saat ini dengan lima
dasar negara kita. Kerennya film ini
membuat penonton secara tak langsung menjadi bagian dalam film ini.
Tak terkecuali PPM Managemen yang
menjadikan film ini sebagai perayaan khusus. Nonton bareng (NoBar) film LIMA
yang diselenggarakan Jum’at (8/6) lalu menjadi cek listnya tersendiri untuk
‘Tiga Tanggal Keramat’ yang mereka tetapkan. Peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni, Hari Lahir PPM Managemen
yang jatuh pada tanggal 3 Juni, dan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal
17 Agustus. film LIMA menjadi eksekusi untuk tanggal keramat yang pertama. “Kita ingin membiasakan”, kalau kata Pak
Bramatyo Djohanputro selaku Direktur Eksekutif PPM yang seakan memberikan
isyarat untuk teka-teki, jika dihadapkan dengan kata ‘persatuan’ apa yang kita
pikirkan? LIMA mengarahkan kita untuk
menjawabnya.
Ketuhanan Yang Maha Esa
Tak hanya judulnya saja, LIMA
juga merupakan karya gabungan dari lima sutradara tanah air, Shalahuddin
Siregar, Tika Pramesti, Lola Maria, Harvan Agustriansyah, dan Adriyanto Dewo. Masing-masing pegang satu sila dengan
karakter yang mewakilkan. Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Kematian menjadi visualisasi menarik untuk
sila pertama, situasi pemakaman dengan aura yang pas dan pecah ketika
paduan suara mengambil alih pikiran penonton. Adegan ini juga sekaligus pintu
masuk penonton untuk bertemu dengan sosok Ibu Maryam (Tri Yudiman) yang masih
menyisakan banyak pertanyaan di kepala saya.
Ibu senang menggunakan kuteks, mungkin terkesan biasa saja, tapi
kebiasaan itu ditampilkan kembali oleh beberapa tokoh lainnya, mungkin sebagai
penegas kalau tokoh dalam film ini masih berkabung atas kematian Ibunya itu sehingga
mental untuk berpikir rasional sedikit tergoyahkan. Bisa saja kuteks dijadikan
sebagai penghormatan terakhir, atau mungkin sebagai pembentuk opini penonton
kalau kuteks diibaratkan sebagai ‘cap’ yang dilakukan oleh diri kita sendiri. Tapi
bisa saja kalian berpikir lain. Ini
uniknya film LIMA, semua bebas berpendapat untuk mengikuti film ini.
Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Tata kamera dalam film ini juga
ngeselin. Saya suka kedinamisan
pengambilan gambarnya yang menjadikan film tak sepenuhnya membosankan dengan
durasi yang cukup lama. Apalagi, di part sila kedua ini kita akan sedikit
diingatkan dengan kasus yang ‘mungkin’ pernah kita dengar, menariknya yang
memimpin cerita tentang Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab ini adalah karakter
yang masih terbilang mencari jati diri, transisi menuju kedewasaan. Selanjutnya
kita akan bertemu dengan karakter Adi yang diperankan oleh Baskara Mahendar,
dan kebetulan dia juga alumni dari Sekolah Tinggi Managemen PPM. “Gak ada ospek di PPM”, alasannya memilih
sekolah tinggi tersebut.
Baskara Mahendra |
Hubungannya dengan film? Dalam film LIMA, Adi digambarkan sosok
yang tahu kejadian bullying di sekolahnya, bahkan puncaknya ia dihadapkan
menjadi saksi mata peristiwa main hakim sendiri. Bullying atau kekerasan dalam
film ini jelas mengingatkan kita sekali lagi kalau perbuatan semena-mena
terhadap orang lain adalah salah, apapun bentuknya, dan ospek ‘bisa jadi’
bentuk bullying yang bersembunyi dibalik kebiasaan yang kita aggap wajar.
Persatuan Indonesia
Fara (Prisia Nasution) sebenarnya
tak mengambil alih film LIMA, tapi sosoknya memang mendominasi bersamaan isu ‘pribumi
dan non pribumi’ yang dipercayakan kepadanya. Bisa dibilang ini part yang paling saya suka. Seperti biasa, akting
Prisia Nasution selalu apik, sama dengan keputusan yang diambilnya ketika
dihadapkan dengan polemik atlet renang. Bahkan, dari sudut pandang atletnya pun
sadar diri, penggambaran persatuan antar sesama atlet yang menyenangkan.
Persatuan Indonesia adalah hal yang sering dikobar-kobarkan belakangan ini, Asian Games, Para Games, atau kebanggaan apapun yang dimiliki Indonesia adalah modal untuk memersatukan bangsa. Dan bagi PPM, momentum nonton bareng film LIMA ini dianggap sangat pantas untuk kita menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan untuk melestarikan keberagaman yang menjadi kekuatan kita. Bentuk pelestariannya tentu berbeda-beda, contohnya PPM yang hingga saat ini konsisten dalam mengembangkan manajemen di Indonesia berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
Persatuan Indonesia adalah hal yang sering dikobar-kobarkan belakangan ini, Asian Games, Para Games, atau kebanggaan apapun yang dimiliki Indonesia adalah modal untuk memersatukan bangsa. Dan bagi PPM, momentum nonton bareng film LIMA ini dianggap sangat pantas untuk kita menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan untuk melestarikan keberagaman yang menjadi kekuatan kita. Bentuk pelestariannya tentu berbeda-beda, contohnya PPM yang hingga saat ini konsisten dalam mengembangkan manajemen di Indonesia berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Dan Perwakilan
Campur aduk terasa saat memasuki
sila keempat. Yoga Pratama sebagai Aryo bisa dibilang ‘pemanas’ dalam film,
karakternya menggebu-gebu tapi semakin membuat kita bercermin. Dewasa adalah
ketika kita mau menerima kenyataan. Dan ketika dihadapkan sebuah pilihan, orang
dewasa dipastikan akan merasakan dua sisi, baik dan buruk. Dalam film, Fara dan
Aryo sebenarnya sama-sama dihadapkan dengan tembok besar bertuliskan IDEALISME,
dan pilihan keduanya pun sama. Tapi Aryo berhadapan dengan hal yang dibahas lebih
kompleks. Idealisme, uang dan keluarga.
Di sinilah saya merasakan film
LIMA bukan soal benar atau salah, baik atau buruk, bahkan tepat atau tidak
tepat, tapi bagaimana kita mengerti dan tidak mengerti, itu yang lebih utama.
LIMA berusaha memberikan banyak sudut pandang agar penonton tak sekedar ngejudge.
Terlepas dari cerita Aryo, secara
keseluruhan keluarga majemuk yang saya mention di awal tadi juga menggambarkan
beberapa sila, salah satunya sila keempat yang divisualisasikan dengan
musyawarah. Topik panas yang dibicarakan berhasil diredam dengan kepala dingin. Hadirnya Fajar seorang Notaris dalam film ini yang berhasil membuat
ketiganya duduk bersamaan, bahkan membuat film menjadi renyah, trik yang pintar
untuk membuat penonton kembali fokus menyaksikan film berdurasi 110 menit ini.
Musyawarah, juga menjadi kunci untuk PPM Manajemen dalam menjalin hubungan baik dengan organisasi pemerintahan, BUMN, swasta ataupun pihak lainnya dalam berbagi pengalaman terkait teori maupun praktik di bidang manajemen. Tak salah jika banyak yang memilih Pelatihan dan Sekolah Tinggi Manejemen PPM sebagai bagian dalam pengembangan karakter saat ini. Solusi manajemen yang terintegrasi juga ditawarkan oleh PPM Manajemen melalui Asesmen SDM, E-Learning, Publikasi dan Seminat, Experiential Learning, serta Riset dan Konsultasi.
Musyawarah, juga menjadi kunci untuk PPM Manajemen dalam menjalin hubungan baik dengan organisasi pemerintahan, BUMN, swasta ataupun pihak lainnya dalam berbagi pengalaman terkait teori maupun praktik di bidang manajemen. Tak salah jika banyak yang memilih Pelatihan dan Sekolah Tinggi Manejemen PPM sebagai bagian dalam pengembangan karakter saat ini. Solusi manajemen yang terintegrasi juga ditawarkan oleh PPM Manajemen melalui Asesmen SDM, E-Learning, Publikasi dan Seminat, Experiential Learning, serta Riset dan Konsultasi.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Memasuki paruh akhir film, saya
baru sadar kalau saya hampir melupakan sosok Bi Ijah (Dewi Pakis), dan ketika
film seakan membuang saya jauh melupakan hal-hal yang sudah saya perhatikan
sedari awal, saya cukup rela, karena saya pikir film akan berakhir ketika Bi
Ijah merasa bebas, tak bekerja sebagai pembantu Fara, Aryo, dan Adi lagi. Tapi
Bi Ijah ternyata babak baru untuk film ini.
Saya langsung teringat mudik dan
iklan-iklan yang menyayat hati ketika Bi Ijah banyak berkata-kata. Dan sesampainya
di kampung halaman, tak salah jika banyak penonton yang sibuk mengusap air mata.
Cerita tentang anak miskin yang mencuri cokelat dari perkebunan perusahaan
besar, yang kemudian masuk ke babak dramatisasi persidangan, dan dipastikan kita
tergiring untuk berempati dengan rakyat kecil. Tapi seperti yang saya bilang tadi, film ini memberikan banyak sudut
pandang.
Tak salah jika lembaga pendidikan
dan pembinaan manajemen tertua di Indonesia ini menempatkan film LIMA untuk
perayaannya, banyak banget pelajaran yang bisa membuka pikiran soal Pancasila
di kehidupan sehari-hari. "Kita
ingin setiap tahun ada acara yang baru" kalau kata Pak Bramantyo
seusai nobar. Dalam hal ini, dan sesuai film, PPM nampak sadar kalau idealisme
akan berakibat buruk jika tak diadaptasikan dengan perkembangan zaman, sehingga
nobar dipilih sebagai momen memupuk kebersamaan dan persatuan keluarga PPM
Manajemen.
Bramantyo Djohanputro |
Duh, tersisa dua tanggal keramat lagi nih untuk tahun ini, kira-kira
PPM Manajemen mau bikin acara seperti apalagi ya???? Penasaran??? Bisa deh kita
cek di Twitternya @InfoPPM atau Instagram @PPM_Manajemen
Tulisannya lugas plus detail banget. Keren deh! Sering sering main ah kemari hahaha
ReplyDeleteYampunnn... Makasih banget...
DeleteSalah satu film yang bisa bikin gue berkata, "yah udah abis filmnya?" karena sangat menikmati setiap detik alur ceritanya.
ReplyDeleteYap, durasi kayak kepanjangan, tapi bikin nagih ya.. Haha
Delete