JAKARTA semakin pantas diacungkan jempol dalam proses pendanaan biaya pendidikan, hal ini bisa jelas saya lihat dari hadirnya Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang merupakan salah satu solusi dari kerja nyata Pemerintah DKI Jakarta untuk memberikan akses bagi warganya mengenyam pendidikan hingga SMA/SMK. Namun sayang, hal ini berbanding terbalik ketika kita melihat lebih dekat 13.432 Warga Binaan Sosial (WBS) yang saat ini masih dibingungkan dengan "apa yang sebenarnya terjadi, mengapa dana yang biasa mereka dapat tidak keluar untuk tahun ini, apakah kebijakannya berubah?"
Tanda tanya besar jelas tengah dialami Forum Komunikasi Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) Provinsi DKI Jakarta saat ini, H. Muhammad Sidik selaku ketua forum tersebut merasa bingung akan hak yang seharusnya warga binaan sosial (WBS) dapatkan tidak kunjung datang, "Biasanya uang tunai, namun tahun ini dirubah menjadi electronik money (berbentuk kartu seperti KJP) tapi tidak muncul lagi dengan alasan yang tidak jelas. Apakah kebijakannya berubah atau bagaimana?" ujarnya.
Ketika membicarakan dana yang mungkin bersifat sensitif ini, hal yang saya pikirkan adalah kemungkinan timbulnya penyelewengan, namun perlu ditekankan bahwa tahun ini seharusnya dana tersebut berbentuk electronik money atau kartu yang bahkan para relawan LKS tidak akan menyentuh sedikitpun dana tersebut karena akan langsung masuk ke kartu para WBS. Apalagi ketika saya tahu bahwa relawan LKS tersebut telah berupaya dengan sangat keras dalam mengikuti prosedur pendataan warga binaan sosial yang terdiri dari foto, berkas pendukung lainnya hingga 8 lembar form perjanjian dengan berbagai lembaga terkait yang telah dilengkapi dengan materai yang pendanaan berkas-berkas tersebut berasal dari kantong pribadi LKS ini. Jelas terlihat transparasi dan profesionalisme yang nyata dari para relawan LKS yang berkerja sesuai peraturan, dan amat disayangkan ketika pihak lain tidak mengklarifikasi bahkan tidak melihat hasil jerih payah mereka yang dengan jelas meminta alasan "kemana dana yang biasa WBS terima".
M. Yusuf Djamal selaku Ketua Forum Komunikasi Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA Panti Asuhan Anak dan Non Panti Asuhan Anak) juga merasa miris terhadap situasi ini, "Harapan kami sulit terjangkau, apa yang akan kami berikan kepada kepala - kepala LKSA saat ini?" ucapnya. Hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa panti asuhan bukanlah hanya sebagai rumah singgah, anak-anak yang berada dibawah atap LKSA mendapatkan hak nyata mereka dalam pendidikan dan pembinaan lainnya seperti kesenian dan berbagai produktifitas.
Pada pembicaraan ini, Ketua Forum Komunikasi Rumah Singgah DKI Jakarta Klaster Anak Jalanan Endang Mintarja juga hadir, "Disini, perlu adanya pembicaraan nyata antara kita dengan pak Ahok" tegasnya. Pasalnya sistem verifikasi yang LKSA buat telah terbangun, mencangkup sekitar 22 lembaga anakan jalanan dengan populasi sekitar 4000 anak binaan di DKI Jakarta, meskipun yang tersentuh program hanya 1010 oleh APBN dan 600 oleh anggaran daerah namun LKSA tetap memperjuangkan hak-hak yang seharusnya warga binaan sosial dapatkan sebagai pemenuh kebutuhan sehari-hari. Hal yang sama juga dirasakan Aldi Kurniawan, Ketua Komunitas Taman Anak Sejahtera DKI Jakarta (Klaster anak balita 0-5 tahun) ini telah memenuhi berbagai persyaratan yang dikeluarkan Dinsos untuk 14 Taman Anak Sejahtera (TAS), namun sayang dana tersebut tak turun jua.
Yang sangat saya dan berbagai pihak harapkan adalah adanya pembicaraan nyata antara para relawan LKS dan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang menurut penglihatan saya sangat tegas dan sangat mengerti permasalahan yang Ibu Kota alami, hal ini sangat perlu dilakukan mengingat Dinsos DKI tidak memberikan alasan yang jelas bahkan tiba-tiba menghentikan aliran dana yang biasanya WBS terima.
No comments