Upaya keras para pendukung film Indonesia semakin nyata terlihat seperti tagline kemerdekaan tahun ini, bertempat di Hotel Mercure Cikini, Jakarta Pusat, Senin (22/8) tadi, para sineas perfilman Indonesia yang tergabung dalam Demi Film Indoensia berkumpul dalam satu atap bersama Pusbang Film Kemendikbud RI pada acara Dialog Perfilman yang mengangkat tema Promosi dan Kritik Film Berbasis Industri 2016. Dihadiri oleh para narasumber yang sudah lama berkecimpung di dunia perfilman Indonesia seperti Dr Maman Wijaya, MPd selaku Kepala Pusat Pengembangan Perfilman Kedmendikbud RI, Wina Armada seorang Kritikus Film sekaligus Dewan Pers, penulis novel Asma Nadia, hingga Anggy Umbara yang berprofesi sebagai sutradara dan masih banyak lagi.
Terbagi dalam beberapa sesi presentasi, acara tersebut diawali dengan bahasan "Pengembangan Perfilman Di Indoensia" oleh Dr Maman Wijaya selaku Kepala Pusat Pengembangan Perfilman Kedmendikbud RI, "pada dasarnya sesuai undang-undang, Film yang baik adalah film yang memiliki fungsi budaya, pendidikan, hiburan, informasi, pendorong karya kreatif dan ekonomi" tegasnya dalam mengawali sesi pertama kala itu. Pada intinya, film yang baik adalah film yang mengandung unsur yang disebutkan tadi, namun belakanagan ini ada satu masalah yang cukup menghawatirkan bagi para produser yaitu "berapa lama film itu akan bertahan di bioskop", pasalkan saat ini sangat sulit untuk memprediksi hal tersebut dikarenakan memang banyaknya film yang antri untuk masuk ke layar lebar.
Dilanjutkan oleh Bapak Al Muhtadi selaku perwakilan dari Sinemata yang lebih memfokuskan pembahasan pada segi promosi, berdasarkan servey dan pengamatan yang ia dan tim sinemata lakukan menyatakan bahwa setiap film harus membuat suatu strategi promosi yang baik dan menarik, juga harus menggunakan banyak konten pada berbagai platform seperti social media yang sedang berkembang pesat di era digital ini. Asma Nadia, seorang penulis novel ternama Indonesia juga menyempatkan waktunya untuk memberikan sedikit pengalamannya dalam strategi film-film yang ia tangani, "kita sangat perlu komunitas dalam mempromosikan film, seperti yang saya lakukan pada fanpage saya untuk film-film sebelumnya" ujar penulis novel jilbab traveler itu. Sma hal nya dengan narasumber selanjutnya yaitu Arul Muchsen atau yang biasa kita panggil Kak Al, beliau menyatakan dengan tegas bahwa blogger juga sangat berperan dalam promosi film, dalam blog mereka terdapat tanggal tayang, poster, bahkan trailer film yang membantu dalam proses penyebaran informasi kepada masyarakat.
Semakin seru ketika sesi tanya jawab tiba, perlu diketahui yang hadir dalam acara tersebut hampir keseluruhan adalam orang yang juga ahli bahkan terjun langsung dalam bisnis film seperti produser, humas rumah produksi bahkan kritikus film yang sudah senior.
Suasana saat acara berlangsung, hampir semua undangan hadir dalam acara ini |
Selain keempat narasumber diatas, hadir pula Pak Yan Widjaya yang biasa kita kenal sebagai pengamat film, yang lebih hebatnya lagi beliaulah yang paling update jika membicarakan data penonton secara cepat, hanya berjarak tiga hari setelah film rilis beliau sudah mendapatkan jumlah penonton dan mulai memprediksi lama bertenggernya film tersebut. Selain Pak yan, sang sutradara film box office comic 8 Anggy Umbara juga memaparkan cara promosi film-film yang telah ia tangani sebelumnya, "yang pertama dalam pemilihan judul, kita harus memiliki IDE yang bikin orang penasaran, menarik dan fresh !" kata sutradara film Warkop DKI yang akan rilis sebentar lagi itu.
Yang paling saya sukai adalah ketika membicarakan tentang "Kritik Film" bersama Pak Wina Armadi Sukardi, diawali dengan pengutaraannya tentang Teori Christian Metz yang sebagian berbunyi "Sinema
adalah seni yang mudah, namun senantiasa terancam kemudahannya sendiri", dengan suara lantangnya ia berhasil menarik perhatian audiance yang mulai mengantuk saat itu."Kritik
film dapat memperjelas, menafsirkan dan
“menjembatati” sebuah film kepada penontonnya, sesuai atau berbeda dengan
maksud dari pembuat filmnya" ucap mantan Serkjen Forum Mahasiswa Hukum Universitas Indonesia itu, pada kesempatannya itu pula beliau menegaskan bahwa ada banyak hal yang harus kita lakukan sebelum melakukan kritik, diantaranya pemahaman bahwa kritik bukan sebuah reportase atau wawancara, apalagi promosi, namun kritik harus dilakukan dengan sistematik mulai dari menyimak, menimbang, menilai dan menafsirkan baik dari relevansi estetika, etika bahkan menyangkut sosial budaya. Jika tidak dibatasi oleh waktu mungkin pembicaraan tentang kritik dan promosi film ini akan lebih bercabang lagi, namun ngobrol seru ini berakhir ketika Tommy F. Awus yang juga seorang juri beberapa festival film menegaskan bahwa kritik erat kaitannya dengan metode, kedua hal tersebut juga harus memiliki logika jika ingin sampai pada kesimpulan.
Sesi foto bersama para narasumber |
No comments