Negeri Dongeng, Aroma 'Kemerdekaan' Dalam Sebuah Film Dokumenter

"Satu kata setelah menyaksikan film ini, CAPEK!"

Kaki saya terasa beku saat menyaksikan film Everest pada 2015 lalu, Baltasar Komakur, sutradara asal Islandia ini berhasil membuat film yang diangkat dari tragedi pendakian yang menewaskan 12 orang di rute menuju puncak tertinggi dunia, Everest, di Pegunungan Himalaya. Bukan karena AC bioskop, tapi saya merasa masuk dalam film ini. Kemarin, saya kembali merasakan sensasi pendakian dengan hanya duduk santai di kursi bioskop, meskipun tak menawarkan 'kedinginan' yang sama namun film dokumenter arahan sutradara muda tanah air, Anggi Frisca, berhasil membuat saya capek yang berfaedah. Berjudul 'Negeri Dongeng', film ini siap tayang di bioskop, segera.


   Saya belum pernah naik gunung, kecuali jika perjalanan ke Bromo beberapa waktu lalu termasuk naik gunung, tapi saya rasa bukan. Bahkan setelah menyaksikan film dokumenter ini, saya semakin tahu apa itu naik gunung yang 'sebenarnya', ada apa di puncak 7 gunung yang dibicarakan para pendaki, dan apa yang mereka rasakan saat sampai. Saya pribadi sangat tertarik dengan design poster yang dibuat oleh Awangga Kusuma ini, seperti melihat sebuah lukisan di pameran foto berkelas, bahkan pemilihan font nya pun serasi dan membuat saya semakin penasaran dengan dongeng apa yang ada pada film ini. Sayangnya, dari awal film hingga akhir saya masih belum mengerti pemilihan judul 'Negeri Dongeng'. 90 Menit film berjalan saya juga agak terkecoh dengan tujuan film ini, arah nya mau kemana, saya bingung, hingga akhirnya saya memutuskan untuk berpendapat bahwa "tujuan film ini tergantung penontonnya", dan pada moment apa kita menontonya. Jika film ini tayang untuk publik di bulan Agustus, maka aroma kemerdekaan akan semakin terasa, tapi jika tidak, rasa kebanggaan setelah menyaksikan film ini akan tetap melekat.

Menurut saya, editing film ini pintar sekali, part awal film dibuka dengan potongan-potongan best scene yang menarik banget, langsung hening penonton saat itu, ditambah dialog perdebatan setelahnya yang semakin membuat banyak orang termasuk saya berniat fokus untuk menyaksikan film hingga akhir. "Kita masuk di ranah abu-abu, satu sisi membuang sampang, di satu sisi lagi membawa sampah.......Di part ini, kita yang sampah" (kalau tak salah dialog yang saya dengar), ketika berpendapat film ini hanya untuk anak yang suka naik gunung saja, maka itu salah, karena faktanya film ini tak terlalu menonjolkan tips-tips yang baik dan benar mendaki atau semacamnya, lebih berfokus pada perjalanan mereka untuk mencapai tujuan yang dibalut dengan drama dan peristiwa-peristiwa seru. Dengan kata lain film ini cocok untuk semua umur, sesuai kategori yang saya lihat, tapi saya rasa tak semua orang mengerti film ini.

Sepanjang film, hanya ada dua orang yang saya ketahui, Darius Sinathrya yang muncul di pertengahan dan Nadine Chandrawinata yang muncul di part akhir, tapi semua cast dalam film ini mengagumkan, namanya juga film dokumenter pasti sisi natural nya terlihat banget, dan mereka membawa film ini menjadi sebuah perjalanan yang asik. Untuk jalan cerita, film ini pasti mudah tertebak berakhir dimana, apalagi saat perjalanan semakin ke timur semakin bagus sinematografinya, semakin menjual, dan semakin banyak menampilkan adegan berinteraksi dengan warga asli, yang amat disayangkan menurut saya adalah film ini tak menjelaskan beberapa ritual adat yang para cast lakukan sebelum naik gunung, hanya menampilkan kegiatannya saja sehingga adegan tersebut terasa kosong akan informasi baru, bertolak dengan fungsi film sebagai media informasi.

Untuk musik, yang saya lihat Yovial Tri Purnomo terlalu bersemangat, tak jelak bahkan bisa dibilang musik dalam film ini amat berjasa dalam membangun atau memperkuat suasana film yang menampilkan landscape tanah air yang keren banget, tapi untuk beberapa adegan saya merasa musik nya berlebihan, apalagi saat melodi-melodi melow yang terus menerus berdengung, membuat saya ngantuk. Dan saat di puncak, saya justru merasa film ini akan lebih spesial jika memperdengarkan suara angin aslinya sehingga suasana puncak gunung bisa sempurna dilihat, didengar dan dirasakan. 

Secara keseluruhan, film dokumenter ini keren banget, 2 tahun pembuatan dengan hasil yang begitu membanggakan, kalimat-kalimat dalam film begitu 'kena' bersanding dengan view Indonesia yang begitu memukau. Jika di awal film ada penjelaskan mengapa mereka melakukan perjalanan ini mungkin akan lebih baik, saya bisa menghubungkan arah dan tujuan yang tadi saya singgung. Di akhir, film ini memberikan harta karun nya, seorang guru duduk di depan dinding pembatas antar dua kelas yang murid nya saling berhadapan, kemudian ada beberapa murid yang menunggu di luar untuk bergantian masuk. anak berseragam putih merah itu bergantian menyebutkan cita-citanya, sontak saya terkagum ketika salah satu anak berucap "cita-cita saya ingin menjadi presiden".



Judul Film
Negeri Dongeng

Sutradara
Anggia Frisca

Produksi
AKSA 7 bersama WARRIORS AKSA 7

Produser
DR. Chandra Sembiring

Sinematografer
Anggi Frisca
Teguh Rahmadi
Rivan Hanggarai
Jogie Putra Nadeak
Yohannes Christian Pattiasina
Wihana Erlangga

Tayang
SOON!

Penata Music
Yovial Tri Purnomo Virgi

Penata Suara
Satrio Budiono

Pemain
Anggia Frisca
Teguh Rahmadi
Rivan Hanggarai
Jogie KM Nadeak
Yohannes Pattiasina
Wihana Erlangga
Nadine Chandrawinata
Darius Sinathrya
Medina Kamil
Djukardi 'Bongkeng' Adriana
Alfira 'Abex' Naftaly
Matthew  Tandioputra

1 comment