Sebuah Harapan Untuk Pemilu 2019!

Sering kali percakapan kami berakhir dengan saling ejek, yang kemudian lanjut menertawakan diri masing-masing. Saya berutung punya teman seperti itu, perbedaan pendapat yang justru membuat kami saling mengerti, bahkan dalam segi pandangan politik yang semakin panas dan berpotensi bikin kami berbincang memperlihatkan urat di leher. Itu sudah biasa, kalau kata beberapa orang. “Musim di mana kita sebagai masyarakat dituntut untuk menentukan hak pilih berdasarakan hati nurani dengan ujian di depannya”.


   Pemilihan umum, atau yang kita kenal PEMILU. Dari saya SD, hal tersebut yang selalu dijadikan contoh nyata oleh guru saya ketika membicarakan demokrasi di negeri ini, sampai saya dulu pernah ingin sekali ikut nyoblos, tapi tidak bisa karena belum cukup umur, dan memberikan warna sendiri pada kelingking. Sekarang saya sudah bisa nyoblos dengan bebas. Sekilas bahagia, padahal cukup berat beban yang ditanggung. Apalagi, belakangan ini nyoblos menjadi bukan sekedar nyoblos.

Semakin dewasa, saya sadar harus menetukan pilihan berdasarkan baik dan buruknya suatu tindakan, yang sebenarnya berujung pada pemikiran kita sendiri. Saat ini, bahayanya adalah terlalu banyak informasi yang bisa masuk ke dunia pribadi kita, salah satunya ketika beribadah, hal yang sejatinya hanya kita dan tuhan yang berhubungan. Kalau ibadah di rumah, sendirian, mungkin akan lebih tenang dan bisa khusyuk dalam menemukan diri sendiri, namun kita juga butuh bersosialisasi dalam hal keagamaan di luar rumah, mengaji atau sholat jumat bagi pria.

Ini yang riskan! Yang kadang membuat saya pribadi ingin cepat-cepat salam, dan pulang. Dari dulu, saya selalu tidak suka ketika ada penceramah membicarakn tentang politik, lebih baik membicarakan tentang hal-hal kejam yang ada di neraka, yang seketika membuat saya sadar. Saya tak tahu bagaimana harus protes, selain tidak menguasai, anak muda kadang dipandang sebelah mata urusan agama, dan lebih memilih untuk memejamkan mata sambil menahan kantuk.


Saya harus berpikir positif, mungkin si penceramah kurang mengetahui peraturan yang berlaku soal membicarakan politik di lingkungan rumah ibadah. Banyak kepala, banyak pemikiran, dan banyak pilihan yang berbeda-beda sehingga membicarakan politik di tempat ibadah adalah hal yang bisa memicu perdebatan dan rusaknya silaturahmi antar sesama umat.

“Saya mengutip dari ucapan Menteri Agama. Boleh saja tempat ibadah dijadikan tempat politik,  namun politik yg bersifat subtanstif,  artinya berbicara tentang kenegaraan,  tentang bangsa,  tidak dalam tatanan politik praktis", kata Kombes Pol Hengki Hariyadi selaku Kapolres Jakarta Barat. Pengetahuan baru untuk saya ketika main ke Jakarta Barat beberapa waktu lalu. Ada program yang menurut saya wajib ditiru oleh wilayah lainnya sebagai pengingat. Saya rasa ini support system yang baik.

Kombes Pol Hengki Hariyadi - Kapolres Jakarta Barat

1000 ‘Pengingat’ di Rumah Ibadah!

"Mungkin ini pertama terjadi di Indonesia, dengan judul Pemasangan 1000 sepanduk di rumah ibadah dalam menciptakan kerukunan umut bergama", lanjut Pak Kapolres Jakarta Barat. 1000 spanduk di rumah ibadah, itu programnya, yang bisa jadikan ‘pengingat’ ketika seorang pemuka agama, atau penceramah ingin memberikan wejangan baiknya kepada masyarakat.


Menurut ketua panitia pelaksana, yang sekligus Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Bapak KH. Tatang M Firdaus, pemasangan spanduk ini lahir dari kekhawatiran warga jakarta barat khususnya, dan DKI pada umumnya terkait Pemilu 2019 yang sudah di depan mata. Ingat! 17 April 2019. “Jangan sampai pada pesta demokrasi kali ini silaturahmi dan persahabatn kita terganggu”, tegasnya. 


Selain sebagai ‘pengingat’, pemasangan spanduk yang nantinya akan diberlakukan di 860 Masjid, 237 Gereja, 1 Pura, dab 85 Vihara, di Jakarta barat ini juga merupakan kesepakatan untuk menolak penyebaran isu hoax, SARA, dan radikalisme. Dan bisa bilang, pemasangan ini termasuk dalam program pengamanan norma-norma hukum bersosial, di mana menjadikan tempat ibadah sesuai fungsinya.

“Kalau ada orang yang berprilaku demikian,  yang menyebabkan hoax,  fitnah sana-sini,  maka dia adalah orang yang tak beriman,  orang yang akan merusak demokrasi,  dan tidak mencintai tanah airnya. Hal seperti itu sejatinya dapat menggangu dan mencerai- berai nilai demokrasi”. Tutupnya.

Sesuai Undang-Undah Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 280 ayat 1 poin h, Pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang menggunakan fasilitas pemerintahan, tempat ibadah, lembaga pendididkan untuk berkampanye. Dan jika ditemukan, tentu akan ada sanksi yang memberatkan. Harapan semua orang, tentunya pesta demokrasi pada 17 April 2019 mendatang berjalan dengan aman,  lancar,  tertib serta tidak mencerai-berai persahabatan dan silaturahmi kita. Setuju?

3 comments

  1. Soal hoax kita harus satu suara bahwa itu tak layak dilakukan orang yang beragama. Kalau gw sih dukung soal itu karena jika kegiatan negatif seperti itu didiamkan akan terjadi perpecahan antar umat

    ReplyDelete
  2. Semangat. Semoga Indonesia jaya....

    ReplyDelete
  3. Saya setuju dan mendukung pernyataan Pak Ketua FKUB Jakarta Barat :

    "Kalau ada orang yang berprilaku demikian, yang menyebabkan hoax, fitnah sana-sini, maka dia adalah orang yang tak beriman, orang yang akan merusak demokrasi, dan tidak mencintai tanah airnya. Hal seperti itu sejatinya dapat menggangu dan mencerai- berai nilai demokrasi”.

    ReplyDelete