Mengenal Sukabumi ‘Sebenarnya’ di Museum Kipahare


Entahlah wangsit dari mana! Saat ini, perjalanan saya ke suatu daerah pasti dimulai dari kekepoan terhadap museumnya. Tempat yang saya anggap bisa menjadi acuan untuk menjelajah, dengan mengenal lebih dekat lokasi tertentu melalui sejarahnya, hingga ‘penambah rasa’ ketika berada di tujuan. Saya merasa ada gerbang tersembunyi di museum, yang memaksa imajinasi saya lebih liar menyelami perbatasan antara masa kini dan masa lalu.

Kang Aris
   Miris, kalau boleh berkomentar saya ingin berucap demikian, tapi seperti lagu Duo Bunga, “Lain di mulut, lain di hati” yaelahhhh, saya hanya tersenyum, dan berucap “wahhh” dengan sedikit ekspresi takjub menemani langkah pertama saya memasuki Museum Kipahare. Beralamat di Jalan Raya Baros Km 5 Kecamatan Baros – Kota Sukabumi, bangunan yang dulunya perpustakaan doang (tapi sekarang juga masih ada perpustakaannya sih) ini ‘bisa dibilang’ sukses membuat saya mengenal lebih dekat kota kelahiran ayah saya, dan membuat saya semakin bersemangat menjelajah Sukabumi.

Untuk urusan transportasi di Sukabumi, bisa dibilang kita gak perlu pusing lagi, sudah ada ojek online. Namun tetap naik angkot memang lebih seru sih, bisa sekalian PDKT sama warga sekitar gitu, hehe. Lokasi Museum Kipahare (bagi saya) gak begitu jauh dari pusat kota, adanya di perbatasan antara Sukabumi dan Kbupaten Sukabumi, yang pasti (bagi saya pribadi) bangunan ini agak susah ditemukan karena bentuknya yang ‘biasa banget’, gak terlalu mencolok, down to earth banget, seperti rumah warga biasa.


Papan bertuliskan ‘MUSEUM KIPAHARE’ seakan menyambut saya. Bisa dibilang papan tersebut yang  membantu saya menemukan museum ini, bersandingan dengan tulisan ‘PERPUSTAKAAN UMUM KECAMATAN BAROS’ di muka gedung. “Bangunannya punya pemerintah, tapi kepengurusan dari relawan dan Komunitas Kipahare”, kalimat itu yang paling saya ingat dari perbincangan awal (dibaca sapaan yang berkepanjangan) saya dengan Kang Sandi Sambawijaya, yang punya kawasan, alias pimpinan di museum. Pikiran saya langsung terbang jauh ke Perputakaan di Depok yang kalau saya dateng pegawainnya kadang lagi nonton drakor, yang kerja anak-anak PKL, itu pun berisik banget. Berbeda jauh dengan perpustakaan yang ada di Museum Kipahare, sepi dan sunyi.

Oh iya, kalian tahu Komunitas Kipahare? Jujur, saya juga baru dengar, jadi komunitas ini adalah perkumpulan orang-orang yang concern ke peletarian seni, tradisi, dan artefak, gitu. Mereka lah yang menggagas bangunan yang kosong tak bernyawa selama 6 tahun ini menjadi museum. Umur museumnya sendiri baru satu tahun, gak besar, hanya beberapa ruangan dengan 100an lebih koleksi yang mereka dapat dari warga dan pihak tertentu, serta hasil temuan saat ekspedisi.



Ada Apa Aja Sih di Museum Kipahare?

‘DJEDJAK Masa Laloe Soekaboemi’, tulisan itu mengundang perhatian! ditambah lambang di sebelahnya berhasil mengecoh saya. Sekilas mirip lambang negara Singapura, tapi bukan, itu lambang Sukabumi zaman old. Menarik sekali, apalagi cerita di bawahnya, peristiwa-peristiwa penting dari tahun 1600an hingga 1953 yang membuat daerah Sukabumi lahir. Kalau saya ceritakan pasti panjaaaang banget, lebih baik kalian dateng deh ke sini, hehe.



Tema yang ingin ditampilkan museum ini adalah kearifan lokal masyarakat asli Sukabumi. Sejenak saya seperti bernostalgia melihat beberapa benda yang sebenarnya tak asing dan pernah saya gunakan sewaktu kecil, piring dan gelas bercorak khas jadul, hawu (yang saya kenal dengan teko), topi pak tani, cangkul (tapi jadul bentuknya), lampu semprong, rantang bersusun, dan setrika arang. Beberapa dari kalian pasti kenal dengan benda-benda itu.




Lokasinya yang berada di perbatasan membuat saya sedikit bingung. Saat itu masih siang, status museum masih buka (hanya tutup di hari Jumat), tapi tak ada lagi yang berkunjung. Warga sekitar juga gak ada, padahal masuknya gratis.

Kang Sandi dengan iket di kepalanya terlihat menahan sabar menjawab pertanyaan saya yang kadang ngaco dan ceplas-ceplos. “Duhh, sayang banget ya, potensi wisata Sukabumi banyak banget, tapi....”, komen saya ketika melihat sekumpulan gambar tempat-tempat sejarah di kota tersebut. Jadi, ada semacam poster besar berisi kumpulan foto bangunan-bangunan Soekabumi yang menarik banget buat dilihat dan didengarkan sejarahnya di museum ini, ditambah lambang Soekabumi (lagi) yang nampak, membuat semakin penasaran artinya apa! Mau tahu apa? Dateng dong ke sini.

Eh, kalian tahu iket kan? penutup kepala ciri khas Jawa Barat atau Suku Sunda gitu..., Saya semakin tahu akan kekayaan Jabar yang satu ini. Cara mengikatnya banyak banget, tekhnik dasarnya sih ada 16 dengan kategoti iketan di kepala yang berbeda, ada yang buat dewasa, anak muda, hingga prajurit. Suatu kebanggaan tersendiri mengetahui hal itu, langusng praktek pula. Oh iya, bahkan beberapa waktu lalu Sukabumi memecahkan rekor dunia untuk penggunaan iket sunda terbanyak pada hari jadinya yang ke-104. Waw! Penasaran iket itu kayak apa? Liat aja foto saya yang paling atas, hehehe.



Biaya masuknya GRATIS!!! Ini juga yang membuat saya bingung kenapa museum ini masih saja sepi, padahal saya sudah cukup lama berada di dalamnya. Memang, butuh banyak perubahan dalam hal fisik museum ini, dan saya berharap banget pemerintah setempat lah yang melakukannya. Kalau komitmen dari pengurus sih "museum ini harus tetap buka", kata Kang Sandi. Tapi permasalahannya, proposal mereka aja gak ada respon katanya... duh duh duh...

Bagi saya, kearifan lokal itu bagai ‘emas’ untuk potensi wisata suatu daerah, karena nyatanya memang warga kita atau turis suka dengan yang berbau ‘lokal’ dan jarang dilihat, tapi itu semua kembali ke fasilitas penunjangnya. Mengapa saya menulis demikian? Museum Kipahare memiliki koleksi yang terbilang unik sekaligus ‘miris’, selain berasal dari temuan komunitas, koleksi museum ini juga berasal dari pemberian warga lokal, seperti kris dan benda-benda berbau mistis lainnya.



Mengapa Wajib ke Museum Kipahare?

Museum ini punya daya tarik tersendiri. Pas saya datang, saya merasa beruntung sekali karena dapat menyaksikan salah satu kearifan lokal yang katanya punya nilai ‘mistis’ tersendiri. Kesenian alat musik TRAWANGSA namanya. Kalau kata Kang Sandi sih, harusnya ada T&C dulu untuk memainkan kesenian ini secara utuh dan lengkap, karena sejatinya pementasan Tarawangsa ini adalah hiburan setelah upacara adat yang harus dilengkapi dengan sesajen.

Terdiri dari dua alat musik. Kecapi Jentreng yang suaranya ‘manis’ banget, serta Rebab Jangkung yang suaranya ‘bulat dan nusuk hati’ saya. Sepanjang kedua alat musik itu dimainkan, saya rasanya mau tidur, lantunannya bikin nyaman banget, sudah jarang rasanya mata dan telinga ini berhadapan dengan produk lokal.

Rebab Jangkung - Kecapi Jentreng
"Besar dan majunya museum, itu karena saran dari pengunjung", kalimat itu terdengar sebelum saya bersiap keluar, melewati pintu utama Museum Kipahere dan melanjutkan menjelajah Sukabumi. Satu kalimat dengan makna yang luas. Harapan saya juga sama sih, banyak yang berkunjung untuk melihat museum ini dan mengenal lebih dekat kearifan lokal hingga kekayaan Sukabumi yang sebenarnya, dan harapan saya itu ada pada para pemuda setempat. Caranya? emmmm, mungkin pemerintah setempat harus melakukan peremajaan terkait pengembangan wisata di Sukabumi, hehe, belajar dari daerah lain saja. Kenapa demikian? Karena sejauh yang saya lihat, Sukabumi punya potensi dan banyak tempat yang wajib untuk di expose, serta para komunitas yang bisa membantu terciptanya peremajaan tersebut. Mari berdoa, dan berucap aminnnnn.


For more info, bisa loh kalian cek IG nya Museum Kipahare, @museumkipahare sekarang juga!

2 comments

  1. Jalan sukabumi memang seru, apalagi naik mobil setan (mobil yang jago nyelap nyelip kaya pembalap)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wahhh, gak ketemu mpo kmren yg begituan, jadi penasaran. Fix, wajib balik lagi ini mah. .

      Delete