Olahraga ‘Beneran’ Sekaligus Wisata? Maratonan Aja di Jogja!

Yang jelas itu bukan saya! Jam 4 subuh sudah bersiap untuk menjelajah Candi Prambanan dan sekitarnya, adu cepat pula. Saya tuh kalau ke Jogja biasanya liburan, jadi otomatis jam segitu masih terlelap di kasur, loket candi juga masih tutup sepertinya, hehe. Lain halnya dengan Geoffrey Birden, runner asal Kenya, dan 1199 pelari lainnya yang sudah melek dan siap meramaikan Mandiri Jogja Marathon 2018, Minggu (15/4) lalu. Bahkan Geoffrey berhasil membuat saya menulis ‘Yang jelas itu bukan saya!’ untuk kedua kalinya, bayangin deh 42,195 kilometer berhasil ditempuh dalam waktu 2 jam 21 menit 55 detik dengan berlari. Waw!


   Seperti biasa, event lari selalu menarik perhatian saya. Kepo soal harga tiket, konsep, hingga tempat acara rasanya wajib banget, salah satunya Mandiri Jogja Marathon. Sempat ngayal sih mau ikutan, lari pagi sambil melihat indahnya Candi Prambanan, jarang-jarang loh, biasanya cuma liat gedung-gedung doang kalo lari di Jakarta, yekannn. Tapi sampai memasuki tahun kedua, kenangan lari di event maraton saya masih stuck di 2014, itu pun 10 K ajah, belum berani buat half apalagi full, tengsin gak kuat, haha.

Dan perlu kalian ketahui nih ya, lari 5 K atau 10 K di event yang basic utamanya maraton itu berbeda banget dengan fun run, meskipun jaraknya sama, tapi suasananya beda banget! lintasan lebih clear dan peperangan batin untuk ‘lanjut tapi gak kuat dan kalau berhenti malu’ itu lebih nyata. Bener-bener butuh persiapan deh kalau mau ikut lari maraton meskipun cuma ambil yang jarak pendek (bisa kalian baca di sini), ya setidaknya untuk latihan, terus naik level gitu. Wajib coba deh!

Mandiri Jogja Marathon 2018

Saya suka sekali konsep yang diusung Bank Mandiri untuk event lari bertaraf internasional ini. Bak menggarap persilangan antara olahraga dan wisata gitu deh. Alih-alih tampak selayaknya lomba lari yang berhasil menarik perhatian para runner dari Malaysia, Brazil, Jepang, China, Australia, Kenya, dan 16 negara lainnya, Mandiri secara terang-terangan juga mengajak para peserta untuk menikmati dan kenal kebudayaan Yogyakarta melalui rute yang dibuatnya.


Ini merupakan tahun kedua penyelenggaraan Mandiri Jogja Marathon dengan lapangan utama Roro Jonggrang sebagai lokasi start dan finish. Selanjutnya, peserta dihadapkan dengan rute yang membuat saya iri, kalau saya ikutan mungkin kebanyakan berhenti dan foto-fotonya deh, haha. Bayangin aja nih ya, berawal dari kawasan Candi Prambanan yang keindahan templescapenya udah jadi buah bibir di mana-mana, terus melewati sembilan desa di Kabupaten Sleman dan dua desa di Kabupaten Klaten yang suasananya bikin ngangenin. Dan gak sampai di situ saja, karena setelahnya mata para pelari akan dimanjakan dengan pemadangan gugusan Gunung Merapi di Km 13 hingga 15.
 
Monumen Taruna Perjuangan dengan Museum Pelataran sebagai ikonnya juga siap menyambut di Km 26, kemudian di Km 37 hingga 39 para pelari akan diperkenalkan lagi dengan satu candi kebanggan kota pelajar, yaitu Candi Plaosan Lor dan Kidul. Kalau saya tak salah ingat, dulu waktu ke Prambanan tuh ada paket yang keliling candi-candi tersebut, tapi pakai mobil gitu, dan waktunya cukup lama. Oh iya, ini rute full marathon ya, yang dilalui Geoffrey Birden dan Peninah Jepkoech Kigen Sain Alim, runner asal Kenya yang berhasil menjadi yang pertama melintas dan menikmati pemandangan Candi Sewu dan Candi Bubrah di Km 40, dan kemudian memastikan diri mereka sebagai juara tahun ini dengan melewati finis pertama di Candi Prambanan. Selamat...


Selain full marathon, Mandri Jogja Marathon 2018 ini tentunya juga menghadirkan kategori lainnya, seperti half marathon (21 Km) dan 10 K dengan 2250 pelari di masing-masing kategorinya, serta 2000 pelari di kategori 5 K. Wajar sih antusiasnya besar banget, kan hadiahnya mencapai Rp 746 juta, hehe, tapi ingat ya persaingannya berat banget.  

Strategi Cerdas Pengenalan Budaya Lokal

Acara yang bertaraf internasional tentunya menjadi peluang Indonesia memamerkan kekayaannya. Kalau miskin gak boleh sombong, tapi kan tanah air kita kaya, jadi sah-sah aja dong kalau mau pamer, haha. Kata ‘Cerdas’ saya rasa pantas untuk mengomentari event kali ini. Pertama terlihat jelas untuk konsep yang memadukan olahraga dan wisata. Kedua, ini yang wajib kalian lihat dan saya suka banget! Genggaman kemenangan yang semakin membuat kangen Jogja. Mendalinya bangke! Bikin iri ajah.

Mulai dari bentuknya yang bulat seperti Gong atau Kempul yang dimaksud memperkenalkan alat musik Gamelan, yang kemudian dihiasi dengan motif Kawung, kalian pasti tau dong motif batik yang satu ini, terkenal banget, berasal dari abad ke-9 dengan filosofi kerja keras dan pengendalian diri yang sepurna gitu. Terus ‘The One and Only’ Gunung Merapi yang menjadi simbol sakral dan mistis ‘tapi ngangenin’ kota Yogyakarta. Bisa dibilang nih ya, kalau mengikuti ajang lari yang satu ini, kita seakan beneran explore Jogja, terus pas finish dapet hadiah kebanggan kotanya gitu, duhhh, tahun depan ikutan apa nih ya....



Totalitas! Itu juga yang saya lihat dari Mandiri Jogja Marathon 2018 ini. Seakan gak mau konsep perpaduan olahraga dan budaya yang disuguhkannya dianggap sebagai ‘bungkusan’ doang, bank yang didirikan pada 2 Oktober 1998 ini juga membuktikan keseriusannya dalam membantu pemerintah, khususnya program Pemerintah Provinsi D.I Yogyakarta, dalam mempromosikan kekayaannya dengan melibatkan banyak sekolah, sanggar, komunitas seni, hingga kelompok-kelompok aktif lainnya untuk tampil di event ini. Eits, tapi bukan hanya sebagai pembuka dan penutup acara ya, karena kearifan lokal tersebut bisa dinikmati di sepanjang lintasan lari.

Tarian paling tua di Jawa yang mempertontonkan kegagahan seorang prajurit di medan perang, kalian tahu apa namanya? Jaran Kepang atau Jathilan, bisa dibilang mirip kuda lumping gitu soalnya ‘kemungkinan besar’ makan kaca juga. Tarian ini hadir di Km 6, 22 dan 40, saya pribadi udah jarang banget loh ngeliat, hehe. Kemudian di Km 12 ada musik Karawitan, jadi ingat dulu waktu SMP ini salah satu pelajaran favorit saya, menenangkan banget. Reog, yang biasa kita lihat di acara khusus aja hadir loh di Km 32 lintasan lari Jogja Marathon ini, jadi jangan salah kalau beberapa peserta terlihat lebih cepat di titik ini, haha. Barongan, Gejog Lesung, Hadroh, serta Badui juga gak lupa ditampilkan.


Kuliner juga! Hampir lupa saya bilang kalau banyak banget kuliner khas kota Jogja yang hadir di food zone Jogja Marathon ini. Fix, saya bakal kalap, apalagi yang jualan juga orang aslinya, entah kenapa saya suka banget ngeliat senyum Mbah-Mbah yang jualan di Jogja, membuktikan kalau umur hanyalah sebuah angka, dan jadi mandiri adalah pilihan. Eh, bukan berarti bisa hidup sendiri ya, maksudnya itu kita bisa memperdayakan orang lokal dengan produk lokalnya juga, satu paket gitu. Cobain deh ke Jogja, pasti kalian ngerti, hehe...


Note : Berhubung saat itu saya masih bermimpi, foto-foto di atas itu hasil jepretan Mba Elly Nurul yang saya temukan di Twitter dengan #MandiriJogjaMarathon2018 ya...

2 comments

  1. tiba2 pengen nyanyi lagu Kerispatih "tapi bukan akuuuuu huwow ...." :))) gokil bgt emang runners ini yak, staminanya juara lah. temen gw ada yg ikutan half marathon jogmar, dari Jakarta ke Jogja cuma buat race ini, lalu pulang ke Jkt malemnya--tanpa cuti kantor loh. gw ngebayanginnya aja udh tepar. TOP lah!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Fix, itu bukan aku....

      (untuk ketiga kalinya....)

      Delete