Ludruk Jaman Now, Pagelaran ‘Kekinian’ Ala Genaro Ngalam

Misteri Istana Songgoriti. Membacanya saja sudah membuat saya bersiap mengibarkan bendera putih. Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, seketika gelap, artinya pertunjukan segera dimulai, dan rasanya sudah wajar jika saya pasrah kehilangan akal sehat untuk siang itu. Kalian tahu film The Disaster Artist (2017) gak sih? Iya, seperti itulah kira-kira. Patokan untuk masuk dan menikmati kedua jenis karya tersebut, bagi saya sama, adalah ketika saya justru tidak bisa membedakan mana akting dan kesalahan dalam berakting.


   Sebelumnya saya tak kenal Ribut Kennedy, tapi intonasi dari MC dan tepuk tangan yang gemuruh di akhir pagelaran menunjukan kalau dirinya berhasil memimpin eksekusi tahunan yang biasa dilakukan oleh beberapa senior mantan pelajar kota Malang yang tergabung dalam Paguyuban Genaro Ngalam (GN), artinya Orang (dari) Malang. Ialah Pagelaran Ludruk yang dipilih sebagai pelepas rindu mereka akan kota pelajar itu. Pemilihan ludruk tentu memiliki alasan tersendiri, selain menjadi salah satu seni tradisi Jawa Timur, ludruk juga memiliki peran penting dalam kemerdekaan Indonesia, terutama dalam kode-kode rahasia.

Totalitas! Saya suka sekali pertunjukan ini secara keseluruhan. Bayangin aja, sebelum mengajak para penonton untuk masuk ke dalam cerita yang berjudul Misteri Istana Songgoriti, yang diangkat dari cerita sebuah daerah wisata bernama Songgoriti, kita diajak icip-icip makanan khas Jawa Timur terlebih dahulu, seperti Tjwie Mie khas Malang, serta kue-kue tradisional lainnya. Dan pas masuk ruang pertunjukan, alunan indah nan merdu seperangkat gamelan seakan menyambut, gak horor seperti ‘yang diceritakan’ di film-film. Selanjutnya yang saya apresiasi adalah bagaimana Dede & Tiyo Bharata terlihat bekerja keras dalam menata konstum dan riasn wajah pada pertunjukan ini. Saya suka sekali pemilihan warnanya, berhasil menemani permen Winston untuk mengajak saya melek.



Paduan Suara Bedayan, bisa dibilang berhasil membuka pagelaran dengan langkah yang pintar. Lewat lagu Sayang, yang dipopulerkan Via Vallen, mereka mengajak para penonton sedikit bergoyong dan bernyanyi. Tak salah jika ‘Ludruk Jaman Now’ disematkan untuk pagelaran ini, pihak penyelenggara membuat acara ini semenarik dan semenyenangkan mungkin dengan membuat ramai dunia nyata dan dunia maya, coba deh kalian cek hastag #LudrukJamanNow. Tak sampai disitu saja, penggunaan bahasa dalam pagelaran ini juga ‘kekinian’, mengikuti perkembangan dan tahu kalau yang bakal nonton gak semuanya orang Jawa dan ngerti bahasa Jawa, maka mencampurkan bahasa Indonesia, jawa, dan beberapa istilah anak zaman now adalah strategi yang tepat.

Paduan Suara Bedayan
Sayetiiiii...... Teriakan itu secara resmi memulai pagelaran. Ia diculik oleh siluman dan ingin dijadikan permaisuri, di hari ia akan menikah. Sekilas akan klise banget ceritanya, saya berpikir kalau calon suaminyalah yang akan menyelamatkannya, tapi ternyata saya salah, mertuanya! Jutru orang yang dijadikan korban kalimat ‘lebih pedas mulut mertua’ yang menyelamatkan Sayeti. Guyub, Guyon, Gembira! Saya mendapatkan ketiga hal itu selama 2 jam perjalanan calon mertua menyelamatkan  calom menantunya, tentu karena cinta sama anaknya juga sih, hehe. Terus ya, saya tuh kadang bingung, apalagi ketika saya tak bisa membedakan mana akting, mana kesalahan, semua samar meskipun menghibur. Apakah ludruk memang didesign untuk kita menikmati kesalahan para pelakonnya?

Adegan paling menyentuh..... Ibu Mertua idaman banget pokonya...
Oh iya, kekinian pagelaran ini juga berkat Risang Yuwono dan David Valentino, mereka memiliki peran yang dieksekusi dengan cukup baik pada tata multimedia sehingga pagelaran ini menjadi semakin menarik untuk dinikmati, background yang mudah sekali diubah-ubah pada layar, kalo zaman dulu kan gantinya ribet. Yang ‘agak’ mengganjal dipikiran saya adalah mengapa properti di atas panggung kurang dipergunakan, misalnya bangku yang hanya ditaruh saja tanpa diduduki, entah mengapa saya menanti bangku itu dipergunakan. Kemudian beberapa efek yang ‘nanggung’ banget, efek asap misalnya, sayang banget hanya ada di bagian akhir dan di sisi kanan panggung saja, padahal kalau keseluruhan akan lebih keren lagi pagelarannya. Tapi, tetap saja saya menanti pertunjukan selanjutnya.

Paguyuban Genaro Ngalam
Paguyuban Genaro Ngalam, adalah satu contoh dan bukti bahwa kearifan lokal sebenarnya bisa mengikuti perkembangan zaman. Jangan cuma bisa bilang ‘ketinggalan’, ‘punah’, tanpa ada usaha untuk mencari informasi atau ikut melestarikan.

2 comments

  1. Ciyeee nonton ludruk! Aku seneng liat kostum-kostumnya. Andai bisa nonton pagelarannya juga :D

    ReplyDelete