Gula Indonesia, Hal 'Manis' Yang Harus Diperhatikan Mulai Saat Ini!

“Suami kamu dari masa depan" ucap Jonathan (Dion Wiyoko) kepada wanita yang telah merubah hidupnya kala itu. Web series berjudul SORE : Istri dari masa depan yang belakangan sedang saya saksikan di YouTube adalah salah satu contoh iklan yang sangat 'pintar' dalam memberikan pengaruh hidup sehat kepada para penontonnya, begitu soft dan memainkan emosi. Tapi kalian tahu apa yang sebenarnya diangkat dalam cerita tersebut? ialah gula, sang pemanis yang sebenarnya memiliki sisi buruk ketika berlebihan dikonsumsi. Mungkin saya termasuk korban web series tersebut, jadi kepikiran tiap makan yang manis-manis, tapi ternyata ada beberapa hal lagi loh yang harus kita ketahui tentang gula dan permasalah seputar produksinya di tanah air. Apa itu?


   Ruang Seminar Gedung Pusat Informasi Agrobisnis (PIA) Kementrian Pertanian cukup ramai sore itu, Kamis, 8 Juni 2017 saya berkesempatan untuk ikut menambah wawasan dalam pembahasan yang 'manis-manis', siapa sih yang tak suka rasa itu, apalagi manis nya cinta, yaelah. Adalah sebuah diskusi nasional yang digagas oleh Media Perkebunan yang berada dibawah Direktorat Perkebunan Kementrian Pertanian, dibuka oleh Bapak Indra Purba SE selaku Pemimpin Usaha Media Perkebunan ini sangat yakin bahwa acara bisa berjalan dengan sukses dan memberikan solusi yang bermanfaat serta menambah pengetahuan tentang masalah yang sebenarnya terjadi saat ini dengan tema Mampukah Gula Indonesia Berdaya Saing?. "Mudah-mudahan masalah ini bisa terjawab melalui diskusi ini" ujarnya.

Pemerintah RI memiliki sasaran 6 ton/ha produksi gula pada tahun 2019/2020, hal tersebut disampaikan oleh Dr. Ir. Agus Wahyudi MS selaku Direktur Tanaman Semusim dan Rempah – Dirjenbun pada sesi pertama diskusi dengan paparan nya yang berjudul Strategi Pemerintah Menuju Swasembada Gula. Namun bukan sekedar ucap semata, pasalnya pemerintah sudah memiliki beberapa strategi penting sebagai solusi demi tercapainya sasaran yang mereka buat tadi, diantaranya perluasan areal 50 ribu ha dan peningkatan produktivitas hingga 6 ton/ha. “Dan tugas kami adalah mencapai sasaran” lanjut Pak Agus.

Dalam perluasan areal yang dipatok hingga 50 ribu ha, nantinya pemerintah berencana mengembalikan areal tebu rakyat hingga 20 ribu ha yang tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Lampung dan wilayah lainnya. Juga diadakannya perluasan areal tebu baru yang mencapai 10 ribu ha serta perluasan areal dari pabrik gula (PG) baru yang berasal dari luar jawa berkisar 20 ribu ha. Sebanyak 4 pabrik baru pun sudah mulai berdiri saat ini, dan nantinya akan terus bertambah hingga tahun 2020 yang berada di Lampung, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat

Strategi selanjutnya adalah peningkatan produktivitas menjadi 6 ton/ha, beberapa cara mereka lakukan salah satunya melakukan bongkar ratoon atau penggantian bibit tebu secara bertahap. Kemudian pencapaian produktivitas juga bisa kita capai secara berkelanjutan dengan cara penggantian lahan kering menjadi lahan basah dengan pengairan tentunya. Pengairan tersebut juga sudah mulai dilakukan tahun ini dengan pengembangan pompa dan penggalian sumur dalam, dengan dua langkah tadi pemerintah yakin produktivitas pun akan meningkat sesuai sasaran. Sebenarnya tak hanya itu saja, mekanisasi dengan grouping lahan dan pengembangan usaha pelayanan jasa alat (UPJA) juga turut digenjot, serta penyediaan benih pun dilakukan sebagai pendukung langkah awal tadi.

Tapi kalian tahu tidak apa permasalahan utama tebu rakyat saat ini? Ternyata justru ada pada persaingan pedagang yang kurang sehat loh! Beberapa dari mereka justru mengacu pada kekuatan pendanaan pembeli yang berdampak pada menurunnya kualitas tebu yang dijual, juga terkadang tidak memperhatikan jarak pabrik  dan nantinya tebu bisa dibeli dengan harga yang sangat tinggi dan tidak wajar, alhasil produktivitas tebu dan gula pun semakin menurun. Untuk itu pemerintah juga membuat sebuah pengembangan kemitraan antara petani dengan pabrik gula, yang bertujuan untuk memberikan pembelajaran dan pembinaan kepada para petani agar menjadi sumber daya manusia yang semakin terlatih melalui pabrik gula.

 Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan - Dr. Ir Agus Wahyudi, MS - Agung Primanto Murdanto

Dalam diskusi itu juga turut hadir Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) yaitu Prof. Dr. Ir Agus Pakpahan yang menjelaskan tentang ‘Revolusi Pabrik Gula’ yang sebenarnya bisa kita contoh dari negara tetangga, yaitu Thailand yang melakukan perluasan mencapai 1 juta ha dalam waktu 5 tahun. Tapi menurut Pak Agus justru bukan mencontoh namun mengambil pembelajaran, artinya perubahan perilaku yang permanen akibat sebuah pengetahuan baru, dan inilah yang penting, sebuah proses pembelajaran. Revolusi ini tentunya memiliki banyak faktor pendukung dan semua dimulai dari organisasinya yang memiliki setidaknya 7 elemen penting, seperti sasaran, struktur, partisipan, values, teknologi sumber daya, output, hingga lingkungan yang memberikan pengaruh cukup besar.

“Kalau mau maju, harus efisien” kata sang Profesor, kalau ingin ‘belajar’ dari Thailand, maka kita harus memulainya dari undang-undang yang mereka buat, begitu jelas dalam tiap katanya, bahkan dalam penggunaan lahan negeri gajah putih itu memperlakukan lahan sebagai sumber daya yang tak bisa diproduksi, untuk itu mereka menyerahkan sepenuhnya kepada para petani, dan itu berbeda dengan Indonesia yang justru ‘memanjakan’ para pengusaha. Lantas, apakah kita bisa sekuat Thailand?

Hal yang sama juga dijelaskan oleh Pak Agung Primanto Murdanto yang saat ini bertindah sebagai Sekjen Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI) mengenai permasalahan utama yang terjadi jika kita membicarakan perkembangan gula tanah air saat ini. Jika diuraikan, inilah permasalahan gula nasional di Indonesia :
1.      Sulitnya pengembangan areal baru dan cara mempertahankan lahan yang sudah ada. Produktivitasnya lahan pun relatif semakin rendah.
2.       Keterbatasan infrastruktur terutama di wilayah pengembang luar Jawa.
3.       Kurangnya penciptaan dan persediaan bibit unggul baru dan mulau berkurangnya tenaga kerja sektor budidaya.
4.       Keterbatasan akses permodalan bagi petani sehingga penerapan teknologi baru juga belum optimal.
5.       Kurangnya sarana irigasi terutama pada wilayah pengembang lahan kering
6.       Kurangnya dukungan kebijakan seperti jaminan rendemen, kartu tani, subsidi pupuk, hingga pajak petani.

Namun seperti yang kalian baca tadi kalau pemerintah sudah memiliki solusi yang diyakini bisa menyelesaikan 6 masalah diatas. Permasalahan juga hadir dalam aspek off farm nya, seperti keterbatasan kapasitas giling tiap pabrik yang berbeda-beda, kualitas gula yang relatif tak stabil, biaya produksi relatif tinggi, hingga berkembangnya diversifikasi dan hilirisasi produk berbasis tanaman tebu guna meningkatkan daya saing, dan tak lupa juga masalah dalam kesiapan para produsen berkompetisi di pasar.

2 comments

  1. Setuju sih, belajar dari negara maju itu perlu supaya kita bisa mengambil ilmunya, semoga belajar dari Thailand bisa membuat Indonesia juga sukses untuk gulanya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, kita harus banget mengambil pelajaran, jangan mau ketinggal ya heheheh

      Delete